A. Latar Belakang
Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang kaya dengan keaneka ragaman budaya. Budaya tradisional yang bersifat ritual sampai dengan budaya tradisional yang bersifat hiburan. Sulawesi Selatan dihuni oleh empat rumpun suku bangsa yakni etnis Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja. Masing-masing memiliki gaya hidup dan cara hidup yang berbeda. Seperti halnya dalam melaksanakan suatu kegiatan upacara-upacara ritual kepercayaan, mereka tidak terlepas dari aturan adat yang juga masih dilengkapi penyembelian hewan untuk persembahan kepada Maha Agung dan beberapa kegiatan sakral lainnya. Khususnya pada adat Bugis-Makassar memiliki budaya walasuji yang cukup dikenal sebagai karakter orang Bugis Makassar. Selain itu masih ada lagi budaya yang tak lepas dari sebuah karya seni rupa yang kental dengan ciri khas Bugis-Makassar seperti misalnya Sarapo (Baruga), dan lamming.
Walasuji bagi warga dan keturunan Bugis dan Makassar adalah bukan hal yang
asing, walasuji dapat dijumpai dengan mudah di rumah-rumah warga Bugis
yang pernah melakukan pesta pernikahan. Walasuji terbuat dari bambu.
Bentuk motifnya segi empat atau (sulapa eppa).
Menurut almarhum Prof DR Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga
guru besar Universitas Hasanuddin Makassar, konsep tersebut ditempatkan
secara horisontal dengan dunia tengah. Masyarakat Bugis-Makassar
memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud
meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara,
dan selatan.
Wala Suji menggunakan pohon bambu, karena menurut sejarahnya pohon bambu
dipercaya memiliki makna filosofi. Pohon bambu adalah sejenis tumbuhan
yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Ada satu sisi dari pohon
bambu dapat dijadikan bahan pembelajaran bermakna, yakni pada saat
proses pertumbuhannya. Pohon bambu ketika awal pertumbuhannya atau
sebelum memunculkan tunas dan daunnya terlebih dahulu menyempurnakan
struktur akarnya. Akar yang menunjang ke dasar bumi membuat bambu
menjadi sebatang pohon yang sangat kuat, lentur, dan tidak patah
sekalipun ditiup angin kencang.
Sebagai ruang lingkup kajian penulis secara khusus membahas mengenai
asal usul walasuji, makna simbolik, fungsi, alat dan bahan, prosedur
pembuatan, serta masalah yang dihadapi.
B. Asal Usul Walasuji
Istilah Wala Suji tidak asing lagi bagi orang Bugis. Jika Anda pernah
mengunjungi acara adat atau perkawinan Kerabat orang Bugis, tentu Anda
akan melihat suatu Baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala Suji
di depan pintu rumah mempelai atau yang melaksanakan hajatan. Wala Suji
adalah anyaman bambu yang bermotif segi empat belah ketupat.
Wala suji berasal dari kata wala, yang berarti pemisah/pagar/penjaga dan
suji yang berharfiah putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam
acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Menurut almarhum Prof DR
Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas
Hasanuddin Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horisontal
dengan dunia tengah. Masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai
sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi
penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan.
Mengapa Wala Suji harus menggunakan pohon bambu, karena pohon bambu
dipercaya memiliki makna filosofi. Pohon bambu adalah sejenis tumbuhan
yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Ada satu sisi dari pohon
bambu dapat dijadikan bahan pembelajaran bermakna, yakni pada saat
proses pertumbuhannya. Pohon bambu ketika awal pertumbuhannya atau
sebelum memunculkan tunas dan daunnya terlebih dahulu menyempurnakan
struktur akarnya. Akar yang menunjang ke dasar bumi membuat bambu
menjadi sebatang pohon yang sangat kuat, lentur, dan tidak patah
sekalipun ditiup angin kencang. hal tersebut mengajarkan kepada manusia
agar tumbuh, berkembang dan mencapai kesempurnaan bergerak dari dalam ke
luar, bukan sebaliknya. Lebih jauh memahami filosofi pohon bambu
tersebut, bahwa menjadi apa sesungguhnya kita ini sangat tergantung pada
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kita tentang “Keimanan kepada
Allah SWT” yang terdapat dalam hati (qalbu) kita masing-masing.
Wala Suji ini merupakan cikal bakal tulisan lontara. Karena pada
masa-masa itu belum ada yang namanya pulpen, pensil dan sejenis alat
tulis lainnya. Huruf lontara ini pada awalnya dipakai untuk menulis tata
aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar
menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar.
Wala suji berasal dari kata wala yang artinya pemisah/pagar/penjaga dan
suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam
acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi)
adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan
susunan semesta, api-air-angin-tanah.
Sebenarnya konsep segi empat pada Wala Suji ini, berpangkal pada
kebudayaan orang Bugis-Makassar yang memandang alam raya sebagai sulapaq
eppaq wala suji (segi empat belah ketupat). Menurut almarhum Prof DR
Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas
Hasanuddin, Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horizontal
dengan dunia tengah. Dengan pandangan ini, masyarakat Bugis-Makassar
memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud
meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara,
dan selatan. Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang
tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu ‘sa’ (#) yang
berarti seua, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro,
manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapaq eppaq.
Berawal dari mulut manusia segala sesuatu dinyatakan, bunyi ke kata,
kata ke perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jati diri manusia. Dengan
demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk
mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang
dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng
(kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng
(ketampanan/kecantikan).
C. Fungsi dan Makna Simbolik
Bagi masyarakat Bugis-Makassar, Wala Suji, dipakai sebagai acuan untuk
mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang
dimaksud itu adalah keberanian, kebangsawanan, kekayaan, dan ketampanan
atau kecantikan.
Jika Anda pernah mengunjungi acara perkawinan suku Bugis-Makassar, tentu
Anda akan melihat suatu baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala
Suji di depan pintu rumah mempelai. Bentuk Wala Suji seperti gapura dan
menyerupai bagian depan rumah panggung suku Bugis-Makassar. Atapnya
berbentuk segitiga dan disangga oleh rangkaian anyaman bambu. Sebagai
penghias, tak lupa diberi janur kuning.
Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk
belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan
Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta,
api-air-angin-tanah.
D. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang diperlukan dalam membuat walasuji yakni:
Bahan utama:
- Bambu tua, lurus dan masih hijau
- Rotan, untuk mengikat tiap rangkaian
- Pasak bambu, (bisa berupa kayu maupun kawat)
Bahan tambahan (jika diperlukan)
- Vernis, supaya lebih awet/tahan lama
- Balok kayu untuk tiang dan penyangga
- Papan
- Bakkaweng atau atap yang terbuat dari daun nipa (Bahasa Bugis).
Alat:
- Parang untuk membelah dan meraut
- Gergaji untuk memotong bambu
- Tobo’ (pisau kecil) yang tajam, untuk meraut bagian tertentu
- Pahat, untuk membuat lubang bambu
E. Prosedur Pembuatan
Dalam prosesi membuat walasuji biasanya dibuat satu sampai dua minggu
sebelum acara pesta pernikahan suku bugis-makassar, tergantung seberapa
besar strata sosial yang ada pada keluarga yang akan membuat pesta
Menurut Mappeasse Gule salah seorang pemerhati kebudayawan di Bone.
Orang yang membuatnyapun tidak terbatas mulai dari satu orang sampai
puluhan, awalnya walasuji dibuat dari beberapa batang pohon dan
sebaiknya walasuji dibuat dari bambu tua yang berkwalitas baik, lurus
dan masih biru.
Adapun tugas-tugas dalam membuat anyaman walasuji yakni:1. Orang yang bertugas memotong-motong bambu,
2. Orang yang membelah menjadi beberapa bilah,
3. Orang yang bertugas meraut bambu sampai halus,
4. Orang yang membentuk atau yang merangkai (desainer) walasuji
Menurut Mappeasse tugas-tugas di atas tidak selamanya berjalan seperti
itu tergantung seberapa besar pengalaman orang yang membuat walasuji,
serta motif walasujipun sangat berfariasi seperti walasuji dengan bentuk
segi empat besar dan segi empat kecil, dan yang segi empat kecil
biasanya dibuat oleh kalangan profesional dan dikhususkan kepada strata
yang lebih diatas sementara yang besar diperuntukkan bagi kalangan
menengah dan pembuatannya tidak terlalu sulit dan lama.
F. Hubungannya dengan Sarapo
Sarapo atau baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan di samping
kiri/kanan rumah yang akan ditempati melaksanakan akad nikah. Sedangkan
baruga adalah bangunan terpisah dari rumah yang ditempati bakal
pengantin dan dindingnya terbuat dari jalinan bambu yang dianyam yang
disebut walasuji “walasuji”. Di dalam sarapo atau baruga dibuatkan pula
tempat yang khusus bagi pengantin dan kedua orang tua mempelai yang
disebut “lamming”. Tetapi akhir-akhir ini di beberapa daerah seperti
Bone sudah jarang lagi mendirikan sarapo oleh karena sudah ada beberapa
gedung atau tenda yang dipersewakan lengkap dengan peralatannya, namun
kadang pula masih ada yang melaksanakan terutama bagi kalangan bangsawan
dan orang berada.
G. Masalah yang dihadapi dan Pergeseran Fungsi
Dewasa ini, Wala Suji bukan suatu hal yang langka lagi, karena bisa
dilihat walaupun tidak ada acara perkawinan . Sejatinya, Wala Suji hanya
dipakai pada acara pernikahan atau pesta adat bagi warga Sulawesi
Selatan yang masih memegang teguh adat setempat. Namun kini, Wala Suji
telah menjadi gerbang permanen bagi rumah-rumah keturunan bangsawan
lokal. Bahkan pada beberapa keluarga yang pernah melakukan pesta
perkawinan, membiarkan Wala Suji itu tetap berdiri kukuh dalam waktu
lama. Padahal semestinya, maksimal digunakan hingga 40 hari pasca
perkawinan atau pesta adat.
Keengganan merubuhkan Wala Suji usai upacara perkawinan itu, selain
merasa sayang menghancurkan bangunan mini itu karena harga pembuatannya
yang mencapai ratusan ribu rupiah, Wala Suji dapat pula difungsikan
sebagai tempat bernaung dari panasnya matahari atau derasnya hujan pada
musim penghujan.
Sebagian orang yang memiliki Wala Suji ini, justru membuat bangku
panjang dari bambu atau kayu di sisi kiri dan kanan bagian bawah Wala
Suji, sebagai tempat bersantai. Bahkan sejumlah restoran atau
hotel-hotel berbintang di Makassar, juga memasang Wala Suji di lokasi
prasmanan atau tempat sajian hidangan dengan alasan menambahkan estetika
dekorasi ruangan, sekaligus memperkenalkan salah satu karya seni budaya
masyarakat Sulawesi Selatan.
H. Kesimpulan
Walasuji merupakan karya seni rupa anyaman yang khas bagi orang
Bugis-Makassar. saat ini bukan lagi murupakan milik bagi keluarga
bangsawan bugis makassar, siapapun bisa menggunakan walasuji dalam dalam
mengadakan sebuah kegiatan. Baik itu pesta pernikahan, peringatan hari
lahir, perhiasan rumah-rumah makan, restoran, hotel, pagar rumah, rumah
peristirahatan serta untuk sesajen (persembahan), dan ada kecenderungan
Walasuji menjadi sebuah karya seni rupa sebagai penghias. namun
terlepas dari semua itu walasuji tetap menyimbolkan budaya lokal bugis
makassar yang sifatnya berkembang dan tak akan terlupakan sampai
kapanpun.
No comments:
Post a Comment