Jendela Seni kali ini akan berbagi mengenai aksara lontaraq yang ada di suku mandar,mungkin banyak dari kita apa sebenarnya lontaraq itu...??,baik kita akan bahas mengenai hal tersebut.
Kata "Lontaraq" sebenarnya mengacu pada bahan utama media
penulisan yaitu daun Lontar. Sejenis tanaman palem-paleman yang tumbuh
didaerah tropis, mempunyai buah yang bundar dan isinya dapat dimakan
dengan rasa yang mirip kelapa muda. Pada permukaan daun inilah
ditorehkan aksara dengan menggunakan ujung ijuk enau yang keras dan
berbentuk seperti lidi biasanya digunakan sebagai alat bantu penunjuk
saat mengaji dan pada orang bugis disebut “kalla”. Setelah aksara
ditulis, lalu disapukan dengan kemiri yang telah dibakar hingga
menghasilkan tulisan yang berwarna hitam sehingga mudah untuk dibaca.
Awal Mula Penggunaan Aksara Lontaraq
Kapan aksara lontaraq mulai digunakan? ini adalah pertanyaan yang sering
terlontar dan menjadi pertentangan diantara mereka yang mementingkan
egosentris dan etnosentris.
Menurut sejarah, aksara Lontaraq diperkenalkan oleh Daeng Pamatte
dikenal sebagai cerdik cendikia pada zamannya dan beliau pula sempat
menggemparkan jagat sains eropa dikaren akan memesan teropong besar dan
tiruan bola bumi yang masih menjadi barang langka dan mahal waktu itu
sebab masih merupakan temuan yang baru. Beliau menjabat sebagai
Sabannarak atau Syahbandar Kerajaan Gowa. Ketika Kerajaan Gowa
diperintah oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi yang
bergelar Karaeng Tumappari’si’ Kallonna, Daeng Pamatte menjabati dua
jabatan sekaligus yaitu Sabannarak merangkap Tumailalang (Menteri Urusan
Istana dan Dalam Negeri). Pada waktu itu Karaeng Tumappari’si’ Kallonna
memberikan titah kepada Daeng Pamatte untuk menciptakan aksara yang
dapat dipakai untuk tulis-menulis.
Pada tahun 1538, Daeng Pamatte berhasil mengarang aksara Lontara yang
terdiri atas 18 huruf dan juga tulisan huruf Makassar Kuno. Kemudian,
aksara "Lontaraq" ini dipermoderen dan bentuknya lebih
disederhanakan sehingga jumlah hurufnya menjadi 19, akibat masuknya
pengaruh bahasa Arab. Dalam perkembangan selanjutnya karena ada vocal
bugis yang tidak terdapat pada vocal makassar maka ditambahkanlah empat
huruf lainnya yaitu NKA, NCA, NPA dan NRA sebagaimana modelnya yang
sekarang. (sumber: Sempugi@m.facebook)
Menurut akademisi yang sekaligus budayawan, Prof H. A. Mattulada, (alm) terinspirasi oleh “sulapa eppa wala suji“.
Wala suji berasal dari kata wala yang berarti pemisah/pagar/penjaga dan
suji berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara
ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah
bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan
susunan semesta, api, air, angin dan tanah.
Akhirnya aksara ini terus mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga
mencapai bentuknya yang sekarang yang berjumlah 23 huruf (termasuk bunyi
konsonan dan vokal a) dan disusun berdasarkan aturan tersendiri. Dalam
sistem aksara ini, dikenal penanda vokal untuk u, e, o, ae.
Namun, aksara "Lontaraq" tidak mengenal huruf atau lambang untuk
mematikan huruf misalnya sa menjadi s. Ketiadaan tanda-mati ini cukup
membingungkan bila ingin menuliskan huruf mati. Juga, di banding
aksara-aksara lain, aksara Lontara tak memiliki semua fonem. Beberapa
huruf ditafsirkan secara teoretis dengan sembilan cara berbeda, dan ini
juga kadang-kadang menimbulkan masalah bagi penafsiran pembaca.
Penggunaan aksara lontara ini sendiri pada masyarakat suku Mandar jaman
dahulu tertuang dalam penulisan seni sastra dan prosa yang meliputi :
- Pomolitang atau pau-pau losong (dongeng) dengan menggambarkan tingkah
laku binatang yang baik dan buruk yang dapat dicontohi oleh manusia,
misalnya dongeng I Puccecang annaq I Pulladoq (Kera denagan Pelanduk),
di mana kera melaksanakan sifat yang baik dan pelanduk melaksanakan
sifat yang kurang baik.
- Toloq (kissah) menggambarkan liku-liku kehidupan dari seseorang tokoh
dalam masyarakat misalnya kisah Tonisesseq di Tingalor (seorang bidadari
jatuh dari kayangan dan ditelan oleh seekor ikan Tingalor).
- Sila-sila (silsilah) menggambarkan suatu kerajaan dan nama-nama
rajanya secara turun-temurun, misalnya silsilah raja-raja di Pamboang,
Sendana, Banggae dsb.
- Pau-pau pasang atau Pappasang (pesan-pesan luhur) menggambarkan ajaran
normal, nasihat dan petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga dan bagi
kehidupan masyarakat yang lebih luas, misalnya pesan orang tua terhadap
anak-anaknya, pesan seorang kakek terhadap pasangan suami isteri, pesan
seorang sesepuh kepada warga masyarakat, pesan-pesan raja pada
rakyatnya.
- Karangan bentuk puisi disebut juga kalindaqdaq.
- Assitalliang atau perjanjian /traktat.
No comments:
Post a Comment