Jendela Seni- kali ini akan berbagi mengenai sebuah mitos tentang Manusia Yang Mempunyai Kembar Buaya Pada Suku Bugis,suku Bugis sendiri
memiliki beragam adat, baik itu dalam pertanian, pernikahan, pelayaran,
dan masih banyak lagi. Beragam pula cerita-cerita kuno yang mistis dan
jika dipikir secara logika itu tidak masuk akal.Nah kali ini kita akan membahas mengenai mitos yang masih dipercaya hingga Zaman sekarang ini
Sama
seperti dengan manusia reptil, sekarang mungkin sudah jarang
diceritakan di masa kekinian kita, tapi masih ada, dibuktikan dengan
beberapa masyarakat masih melaksanakan acara mappano yaitu suatu kegiatan meyajikan sesuatu di sungai sebagai persembahan yang entah apa itu (mungkin untuk manusia reptil).
Di Salah satu kabupaten yang ada di Sul-Sel tepatnya di Kab.
Pinrang, beberapa orang juga menjadikan buaya bagian dari keluarga.
Bahkan menurut Muhammad Accank, salah seorang warga Pinrang, setiap tahun
bersama keluarganya memberi sesajen pada buaya yang ada di sungai.
“Biasanya diberikan telur dua buah. Itu dilakukan kalau salah seorang keluarganya telah
mimpi bertemu dengan kembaran buaya-nya itu”
Bagaimana kisah ini bermula? Dalam epik I La Galigo, ketika
dunia akan diisi oleh manusia, seorang anak dewa dari langit bernama
Batara Guru diturunkan ke Bumi dan untuk menemaninya maka diangkatlah
sepupunya dari penguasa dunia bawah bernama We Nyili Timong.
Seorang sejarawan mengatakan bahwa, di masyarakat Bugis dan
Makassar buaya menjadi bagian dari kehidupan manusia adalah lumrah. Di
Bone, buaya dikenal dengan nama To Ri Salo (terjemahannya secara umum adalah orang yang menghuni sungai). Di Luwu disebut ampu salu (yang menguasai sungai) dan bahkan dalam menyebutnya harus menggunakan kata nenek – merujuk pada buaya.
”dan ini mungkin cara pandang manusia dalam hubungannya dengan alam”
Pandangan
inilah, sebagai cara dalam memproteksi sungai. Pada masa
lalu, masyarakat tidak dibenarkan membuang hajat di sungai, menangkap
ikan dengan racun. Bahkan rumah-rumah masyarakat yang berada di
pinggiran sungai, menjadikannya sebagai halaman depan.
Sebagian
orang Bugis percaya, bahwa reptil yang bersarang di kaki bendungan
bukanlah reptil biasa. Bukan buaya apalagi biawak. Reptil itu konon
lahir dari rahim manusia.
Beberapa wanita Bugis
dipercaya melahirkan bayi kembar. Bayinnya memiliki saudara kembar
berupa reptil, bukan biawak, pun bukan buaya. Reptil itu keluar bersama
saudara kembarnya pada gumpalan-gumpalan darah saat persalinan. Meski
tak ada yang pernah melihat secara langsung, tapi reptil itu dipercaya
ada: sangat kecil, serupa anak cicak.
Biasanya
semalam setelah melahirkan, ‘bayi reptil’ ini akan hadir dalam mimpi
ibunya dan mengaku sebagai anak yang hidup di alam yang berbeda. Sangat
susah dipercaya! Tapi datanglah ke kampung-kampung orang Bugis, tanyakan
tentang hal ini! Maka hampir semua responden membenarkan cerita ini.
Hampir, karena memang masih ada segelintir orang yang malah mencibir
saat mendengar cerita anak reptil tadi.
Beberapa
di antara segelintir yang mencibir tadi, ditemukan meninggal di air.
Apa dimangsa oleh manusia reptil tadi? Beberapa orang akan mengiyakan
pertanyaan barusan. Orang-orang yang meninggal di air tadi, biasanya
hanya akan ditemukan jasadnya dengan bantuan pawang (sanro).
Sang pawang hanya butuh mengomat-ngamitkan mantra, lalu menyuguhkan sesajen berupa telur ayam kampung beralaskan daun sirih, sim salambim, sang mayat akan ditemukan oleh tim pencari atau mengapung sendiri ke permukaan.
Menurut
kepercayaan orang-orang Bugis, orang yang punya keluarga atau kerabat
sebagai manusia reptil tak akan pernah meninggal akibat tenggelam,
hanyut, atau meninggal dengan cara apapun di dalam air. Sebagian orang
yang memercayai manusia reptil sering ke kaki bendungan, yang di sana
juga ada beringin raksasa, untuk membawa sesajen. Sesajen itu biasanya
dibawa sebelum atau sesudah melaksanakan hajatan, seperti pernikahan
atau bahkan mungkin wisuda.
Namun jika orang yang punya keturunan kembar manusia reptil ini menikah, dia harus melakukan bebuang, semacam
sesaji yang berbentuk kapal dari daun pisang yang berisi telur, lilin,
kacang-kacangan dan dihanyukan di laut maupun sungai dengan bantuan dari
orang pintar (sanro), disertai ikatan benang kuning di tangannya
sewaktu bersanding atau mengucapkan akad nikah. Jika ritual ini tidak
dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan, maka akan terjadi kejadian
aneh-aneh semasa pesta perkawinannya.
Begitu juga ketika generasi keturunan kembar manusia reptil tersebut hamil 7 bulan dan sebelum melahirkan juga melakukan ritual bebuang tersebut.
Tak
hanya itu, semua perairan di Nusantara (bahkan perairan di dunia ini)
dianggap sebagai habitat manusia reptil, sehingga banyak orang Bugis
setiap naik kapal laut akan membuang sebutir telur ayam kampung
beralaskan daun sirih demi keselamatan dalam perjalanan. Ritual seperti
ini dianggap lebih mumpuni dibandingkan membaca doa naik kendaraan yang
pernah diajarkan Nabi Nuh yang termaktub dalam kitab suci.
Tidak
semua yang mencibir kisah manusia reptil menemui ajalnya di air.
Beberapa orang yang masuk golongan orang yang tak percaya berikutnya
adalah orang-orang yang tak mau masuk dalam perkara syirik.
Tak
susah membedakan yang mana manusia reptil, yang mana biawak sungguhan,
jika misalnya datang menjelma berupa biawak. Kalau dia manusia reptil,
bentuk kepalanya lebih memanjang seperti buaya, sementara biwak bentuk
kepalanya agak bulat seperti kepala tokek. Biasanya juga, biawak yang
datang di perkampungan akan membuat semua ayam berkotek dan lari
ketakutan, sementara jika yang datang adalah manusia reptil, dia akan
berjalan santai di antara ayam dan ternak yang mengulurkan tangan
untuknya, manusia reptil itu akan melompat naik ke tangan dan bertengger
di bahu seperti halnya iguana peliharaan.
Namun
terlepas dari semua mitos di atas. Jika di pikir secara logika lagi
mungkin ini hanya mitos belaka. Mungkin manusia yang bersamaan lahirnya
bersamaan dengan kelahiran reptil hanya dikatakan kembaran reptil karena
tepat bersamaan ataupun mungkin orang jama dulu di suku Bugis
mengatakan sebenarnya itu gakta, namun tidak mungkin secara ilmiah
seorang wanita melahirkan seorang bayi reptil. Semua yang terjadi
bertentangan dengan genetika.
Dari sisi biologispun, kembar antara manusia dengan reptil tidak mungkin
terjadi. Menurut Arfan, hubungan DNA antara reptil dan manusia sangat
jauh berbeda. Jika manusia memiliki 23 pasang kromosom, maka buaya jauh
lebih sedikit dan sangat sederhana. Tidak serumit manusia.
Tidak
hanya itu, jenis kelamin buaya itu ditentukan oleh suhu telur. Dan
sperma atau sel telur dari manusia dan buaya tidak akan bisa menyatu.
“Jika kemudian ada yang mengatakan buaya itu keluar dari rahim, saya
kira tidak ada yang dapat membuktikan. Jika pun buaya itu hidup
dipencernaan maka itu juga sesuatu yang tidak mungkin karena tingkat
keasaman lambung akan membunuhnya.” Kata Arfan.
Demikian artikel kali ini yang sempat Jendela Seni bagikan mengenai Mitos Manusia Yang Mempunyai Kembar Buaya,sekiranya apa yang dibahas di atas dapat dijadikan referensi dan kemudian tidak dijadikan landasan mutlak untuk percaya tanpa mengkaji lebih lanjut,dan semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
No comments:
Post a Comment