Jendela Seni-Kali ini akan berbagi mengenai Pesta Adat Maccera Manurung Di Kabupaten Enrekang.Maccera Manurung sendiri bisa juga disebut menyembelih hewan ternak untuk di persembahkan kepada To Manurung.
Maccera Manurung ini adalah tradisi yang dilaksanakan turun temurun oleh masyarakat Enrekang,Berikut ini kita akan mengulas mengenai Maccera Manurung yang dilaksanakan di Desa Pasang Kec,Maiwa,Kab.Enrekang,Berikut ulasannya:
Acara Maccera Manurung Maroa di Desa Pasang berlangsung setiap dua
tahun sekali pada setiap tahun-tahun ganjil,warga yang berasal dari
Desa Pasang berkumpul ketika acara ini dilangsungkan, baik warga yang
menetap di dalam Desa Pasang itu sendiri maupun yang berasal dari
daerah perantauan hingga yang berasal dari luar negeri seperti dari
negeri jiran Malaysia yang sengaja datang untuk menyaksikan
keunikan prosesi Pesta Adat Maccera Manurung ini.
Puncak dari prosesi ritual Adat maccera manurung adalah pendakian ke
Buttu (bukit) Pasang, yang berada pada ketinggian kurang lebih 800 mdpl.
Di atas Buttu Pasang, warga telah menyambut empat orang pemangku adat
Desa Pasang yang berpakaian adat.
Empat pemangku adat ini terdiri atas
Sanro, Dulung, Ada’ dan Sara’. Sanro sebagai pewaris pesan Manurung
untuk kesehatan, Dulung pewaris pesan untuk pertanian, seorang Ada’
membawa pesan mengenai hukum dan seorang Sara’ membawa pesan mengenai
keagamaan.
Para pemuka adat ini membawa duplikat pakaian To Manurung, karena
pakaian yang dianggap asli sudah tidak layak untuk dibawa ke Buttu
Pasang karena suatu alasan. Pakaian yang disebut-sebut sebagai pakain
asli Manurung di Pasang selama ini tersimpan di rumah salah satu
keturunan panglima Manurung di Desa Pasang.
Setibanya di puncak Buttu Pasang, salah satu pemangku adat mengikat
duplikat pakaian Manurung di Pasang menggunakan tali dari bahan sabuk
kelapa yang digantung pada bambu yang telah ditegakkan di atas tanah
dengan diikatkan pada pohon.
Ditengah-tengah Buttu Pasang dibuat satu tempat dengan berpagarkan
daun kelapa untuk memeberikan batas bagi para warga dan pengunjung yang
ingin menyaksikan ritual Maccera Manurung.
Di dalam area yang telah
dibatasi dengan pagar daun kelapa itu, para pemangku adat termasuk
panglimanya yang berjumlah 5 orang melakukan beberapa ritual adat
Maccera Manurung. Bebarapa sajian-sajian dipersiapkan berupa
sokko,kelapa, daun siri, dupa, air nira,air minum, dan sebagainya
sebagai alat pelengkap dalam kegiatan prosesi ritual Tomanurung.
Pada ritual ini, seorang pemangku adat kemudian menyembelih seekor
ayam jantan berwarna dominan merah (yang menurut adat kebiasaan) dibawa
oleh penduduk dari Paladang, sebagai suatu syarat keharusan yang konon
adalah permintaan To Manurung Di Pasang yang bergelar Puatta La Tau
Pakka.
Wargapun memperebutkan bulu-bulu dari ayam jantan yang telah
disembelih sebagai azimat yang mereka percaya memiliki banyak khasiat
seperti mempemudah datangnya rezki dan jodoh, sebagai penyembuh berbagai
macam penyakit, dan lain sebagainya. Warga juga menyerahkan uangnya
dalam berbagai nilai kepada pemangku adat untuk dibaca-bacai. Warga
percaya rezkinya bisa bertambah banyak, dan uang itu sebagai perlambang
rajanya uang yang tidak mereka pakai sebagai alat tukar melainkan
dijadikan azimat. Wa Allahu a’lam bissawab.
Pada prosesi pembacaan pesan-pesan yang disampaikan empat pemangku
adat itu terlebih dahulu dilakukan penyembelihan seekor kambing yang
(menurut adat kebiasaan dibawa oleh penduduk dari Marassi), di tempat
yang konon adalah tempat ghaibnya Tomanurung di atas Buttu Pasang.
Prosesi Maccera Manurung di atas Buttu Pasang berakhir ketika tengah
hari. Sejumlah pemuka adat di Desa Pasang serta warga dan orang-orang
yang menyaksikan turun berduyun-duyun dari Buttu Pasang.
Pemangku adat
membawa juga duplikat pakain Tomanurung untuk dibawa masuk ke dalam
rumah/sapo yang sudah dibuatkan oleh warga, yang tidak dibiarkan orang
yang masuk kecuali orang-orang keturunan raja. Kemudian kerbau yang
berjumlah beberapa ekor sumbangan dari warga Pasang disembelih untuk
dimakan bersama pada acara adat Maccera’ To Manurung.
Pesta Adat Maccera’ Manurung ini terlaksana juga atas partisipasi
tenaga dan dana dari warga Pasang baik yang menetap di dalam Desa Pasang
maupun yang bermukim atau berasal dari perantauan di luar desa. Harapan
mereka adalah agar pesta adat ini berhasil sebagai tanda syukur kepada
Allah SWT.
Dari prosesi di atas banyak unsur mistik yang mewarnainya, beberapa
warga Desa Pasang sendiri ada yang tidak mengikuti lagi karena berbeda
paham dari sisi syari’atnya.
Kami mencoba menarik benang merah antara
prosesi ini dengan proses masuknya Islam di Desa Pasang, mengingat dalam
ritual ini disertakan juga seorang Pemangku Sara’ yang bertugas membawa
pesan-pesan keagamaan dari Manurung.
Kami juga punya asumsi jika To
Manurung adalah seorang pembawa syi’ar agama Islam ke sekitar wilayah
Pasang di masa lampau. Selain mengajarkan kebudayaan dalam artian adat
tentu yang paling utama adalah membawa sy’ar Islam.
Walaupun dikemudian
hari terjadi proses asimilasi budaya dan syari’at yang dilakukan oleh
penduduk dikarenakan proses zaman. Menurut seorang pemangku adat yang
sempat saya tanyai mengenai hakikat dari pesan-pesan Manurung, beliau
bercerita secara garis besar jika ada dua unsur di dalamnya, yaitu unsur
lino na akhera’ (dunia dan akhirat).
Dunia disimbolkan dengan Nabi Adam
as, sedangkan akhirat yang berkunci pada syari’at disimbolkan oleh
Rasulullah Muhammad SAW. Hal ini juga dapat kita temui pada filososfi
tongkat yang dipegang oleh khatib di Desa Pasang ketika berkhutbah.
Dari
pangkal tongkat yang sebatang kemudian menjadi dua mata pada ujungnya,
menyimbolkan filososfi Yang Satu dengan dua unsurnya yaitu dunia dan
akhirat.
Demikianlah artikel kali ini yang sempat Jendela Seni bagikan mengenai Tradisi Pesta Adat Maccera Manurung Di Bumi Massenrempulu,dan semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
No comments:
Post a Comment