Jendela Seni, kali
ini akan berbagi mengenai salah satu kearifan lokal yang ada di masyarakat
bugis yaitu Pappaseng,atau bisa juga diartikan sebagai
pesan-pesan,nasihat,seperti yang kita tahu bahwa salah satu peninggalan sejarah
yang menyimpan berbagai aspek kebudayaan suku bangsa yang memiliki aksara
sendiri ialah naskah. Orang Bugis adalah salah satu suku bangsa yang beruntung
memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan pada masa lampau masih dapat
tersimpan dalam naskah Lontarak. Salah satu bentuk naskah Lontarak Bugis yang
berhubungan dengan kearifan dikenal dengan istilah Pappaseng ‘Pesan-pesan; nasihat;wasiat
Pappaseng sebagai
salah satu bentuk pernyataan yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai
sistem sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam kelompok masyarakat Bugis. Dalam
pappaseng terkandung ide yang besarbuah
pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan
pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk.
Pappaseng adalah pesan orang tua-tua dahulu yang berisi
petunjuk, nasihat, dan amanat yang harus dilaksanakan agar dapat menjalani
hidup dengan baik. Dalam pappaseng terdapat nilai-nilai luhur yang sarat dengan
pesan-pesan moral, dan sampai saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Bugis
di Sulawesi Selatan. Namun, kehidupan
masyarakat yang dinamis,
senantiasa mengalami perubahan
seiring dengan perkembangan jaman. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut senantiasa mengalami
pergeseran pula.
1. Sadda mappabbati ada
artinya: bunyi
mewujudkan kata
2. Ada mappabbati gau
artinya: kata
mewujudkan perbuatan
3. Gau mappabbati tau
artinya: perbuatan
mewujudkan manusia
Berikut ini ada beberapa pappaseng petuah bugis yang akan
kita bahas,berikut ulasannya:
1. AJA’ MUANGOAI
ONRONG, AJA’TO MUACINNAI TANRE
TUDANGENG, NASABA DETUMULLEI PADECENGI
TANA, RISAPPAPO MUOMPO, RIJELLO’PO MUAKKENGAU
Arti :
Janganlah menyerakahi kedudukan, jangan pula terlalu
mengingini jabatan tinggi, karena engkau tak sanggup memperbaiki Negara. Kalau dicari baru akan muncul. Kalu ditunjuk baru engkau mengaku.
Penjelasan :
Pada hakikatnya, semua orang mencita-citakan kedudukan atau
jabatan tinggi, tetapi takdir dan kesempatan membawanya kea rah lain. Akan
tetapi manakala keserakahan menjadi tumpuan untuk menggapai cita-cita, maka
dalam perjalanan menuju cita-cita unsure moral akan dikesampingkan, bahkan
fatal bila ditunjang oleh kekuasaan.
Sebaliknya seorang yang beritikad baik pada umumnya mempunyai harga diri
sehingga malu akan mengemis jabatan dan bila diberikan amanah dilaksanakan
dengan penuh rasa tanggung jawab.
2. TELLU RIALA SAPPO :
TAUWE RI DEWATAE, SIRI RI
WATAKKALETA, NENNIYA SIRI RI PADATTA RUPA TAU
Arti :
Hanya tiga yang dijadikan pagar : rasa takut kepada
Tuhan, rasa malu pada diri sendiri, dan rasa malu kepada
sesame manusia.
Penjelasan :
Rasa takut kepada Tuhan membawa ketaqwaan dan memperkuat
iman. Rasa malu kepada diri sendiri akan
menekan niat buruk dan memperhalus akal budi, dan rasa malu kepada sesama
manusia dapat membendung tingkah laku buruk dan meninggikan budi pekerti
3. PALA URAGAE, TEBBAKKE
TONGENGNGE, TECCAU MAEGAE,
TESSIEWA SITULA’E
Artin :
Tipu daya mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran
tak termusnahkan, kebenaran tetap akan
hidup dan bersinar terus di dalam kalbu manusia.
Penjelasan :
Karena sumber kebenaran datangnya dari Tuhan. Yang sedikit
mungkin mengalahkan yang banyak untuk sementara karena kekuatan. Akan
tetapi yang banyak tidak dapat diabaikan atau dimusnahkan. Yang banyak saja
sudah satu kekuatan apalagi yang banyak membina kekuatan.
Adalah tidak mungkin matahari tenggelam di siang hari,
seperti tidak mungkinnya memusnahkan kebenaran .
Pappaseng merupakan suatu bentuk pernyataan dengan bahasa
yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai suatu sistem sosial maupun
sebagai sistem budaya dari suatu kelompok masyarakat Bugis.
Filsafat dapat pula
diartikan sebagai suatu kebijaksanaan hidup, usaha kebatinan, angan-angan,
sikap, metode, dan teknik (Ali, dkk., 1997). Dengan demikian falsafah hidup
dapat diartikan sebagai suatu pengajaran atau pedoman yang sarat denagn
berbagai macam kebijaksanaan yang penuh kearifan dalam mengatur berbagai aspek
kehidupan masyarakat Bugis.
Beberapa
contoh pappaseng dan nilai-nilai utama
yang terkandung di dalamnya, dan dijadikan sebagai tatanan hidup masyarakat
akan dikemukakan sebagai berikut:
1. Nilai-nilai
yang berkaitan dengan kejujuran
Kejujuran
merupakan landasan pokok dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia dan
merupakan salah satu faktor yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia.
Dalam pappaseng
diungkapkan sebagai berikut:
Ajak
nasalaio acca sibawa lempu, naiya riasenng- é acca dekgaga masussa napogauk.
Dek to ada masussa nabali ada madeceng malem-mak- é, mateppek-i ri padanna tau.
Naiya riyasenng- é lempu makessinngi gaukna, patujui nawa-nawanna, madeceng
ampena, nametau ri Dwata-é.
Catatan Tenritau Maddanreng Majauleng,
dari kumpulan Andi Pabarangi,
dikutip oleh Haddade(1986:14)
Terjemahan:
Janganlah
ditinggalkan oleh kecakapan dan kejujuran. Yang dinamakan cakap, tidak ada yang
sulit dilaksanakan, tidak ada juga pembicaraan yang sulit disambut dengan
kata-kata yang baik serta lemah lembut, percaya kepada sesama manusia. Yang
dinamakan jujur; perbuatannya baik, pikirannya benar, tingkah lakunya baik, dan
takut kepada Tuhan.
Dalam pappaseng
tersebut dijelaskan bahwa kecakapan dan kejujuran sebaiknya seiring dan saling
menunjang. Kecakapan tanpa kejujuran ibarat kapal tanpa nakoda, sedangkan
kejujuran tanpa kecakapan ibarat nakoda tanpa kapal.
Terdapat pula
ada pappaseng yang memberikan nasihat untuk senantiasa berlaku jujur, yang
dikutip dari percakapan antara Kajao Laliddong
dengan Arumpone.
Kajao
Laliddong berpesan:
Ajak
muala waramparang narekko taniya
waramparammu;
Ajak
muala aju ripasanré narekko tania iko pasanréi;
Ajak
muala aju riwetta wali narekko taniya iko mpettai.
Catatan La Mellong Kajao Laliddo dari Lontarak Haji Andi Ninong, dikutip
oleh Haddade(1986:15)
Terjemahan:
Jangan
mengambil barang-barang yang bukan milikmu;
Jangan
mengambil kayu yang disandarkan jika bukan engkau menyandarkannya;
Jangan
mengambil kayu yang ditetak ujung pangkalnya jika bukan engkau yang menetaknya.
Pappaseng
tersebut, mengungkapkan kebiasaan orang kampung menyan-darkan atau menetak
kedua ujung kayu yang diambilnya di hutan sebagai tanda sudah berpemilik.
Ada tiga
konsep dasar untuk meraih kejujuran yang terdapat dalam pap-paseng. Ketiga
konsep dasar itu adalah; siri (rasa malu); kewaspadaan (sikap hati-hati), dan
rasa takut yang disertai ketelitian. Ketiga konsep tersebut tergambar dalam
pappaseng berikut ini:
Naiya
appongenna lempuk-é tellunrupai:
Seuwana, iyapa
nqapoadai kadopi molai;
Maduwanna, iyapa
napogauk-i kadopi lewuriwi ri munripi tau-e Matellunna, tennaenrekie waramparang
ri palolok, tennassakkarenngi ada -
ada
maddiolona
.
Terjemahan:
Yang menjadi
pengkal kejujuran, ada tiga hal;
Pertama,
dikatakannya bila sanggup, melaksanakan
Kedua,
dilaksanakannya bila sanggup menanggung resiko
Ketiga, tidak
menerima barang sogokan, dan tidak menyangkal kata-kata yang pernah diucapkan.
Pesan yang
disampaikan dalam Pappaseng tersebut, seorang yang jujur tidak dengan mudah
memutuskan sesuatu hal, tetapi terlebih dahulu dicermati kemudian dilakukan.
Demikian pula, orang yang jujur, tidak menerima barang sogokan, dan tidak
mengingkari kata yang pernah diucapkan.
Selanjutnya
dalam Pappaenna To Maccaé ri Luwu juga diungkapkan konsep kejujuran sebagai
berikut:
Aruwai sabbinna lempu- é, iyanaritu:
Napariwawoi
ri wawo- é
Napariyawai
ri yawa- é
Napariatauwi
atawu- é
Naparilaenngi
ri lalenng- é
Napari abeoi
abeo- é
Naparisaliwenngi ri saliwenng- é
Naparimunriwi
ri munri- é
Napariyoloi
ri yolo- é
To Maccaé ri Luwu, dari Lontarak Haji Andi Ninong, yang
dikutip oleh Haddade (1986:16)
Terjemahan:
Ciri-ciri kejujuran ada delapan hal:
Menempatkan di atas yang pantas di atas
Menempatkan di bawah yang pantas di bawah
Menempatkan di kanan yang pantasa di kanan
Menempatkan di kiri yang pantas di kiri
Menempatkan di dalam yang pantas di dalam
Menempatkan di luar yang pantas di luar
Menempatkan di belakang yang pantas di belakang
Menempatkan di depan yang pantas di depan
Pappaseng
tersebut menyampaikan pesan bahwa kejujuran itu berarti menilai sesuatu secara
objektif, menempatkan sesuatu menurut posisinya, dan menyelesaikan masalah
dengan adil dan bijaksana.
2. Nilai-nilai
yang Berkaitan dengan Etos Kerja
Dalam kaitannya
dengan etos kerja, sejak dahulu orang Bugis dikenal sebagai pelaut ulung.
Karena akrabnya dengan air dan laut, maka sifat-sifat dinamis dari gelombang
yang selalu bergerak dan tidak mau tenang itulah yang mempengaruhi jiwa dan
pikirannya (Said, 1997:4). Haltersebut dilukiskan sebagai sifat dinamis, penuh
semangat tanpa kenal putus asa, dan pantang mundur yang dapat dilihat dalam
pappaseng berikut ini:
‘Pura babbara
sompekku
Pura gucciri
gulingku
Ulebbirenngi tellenngé natowalié”
Dikutip
oleh Amir, dkk., (1982:56)
Terjemahan:
Layarku sudah
berkembang,
Kemudiku
sudah terpasang,
Kupilih
tenggelam daripada kembali”
Demikianlah
sifat yang hebat, pantang mundur bila ingin mencapai sesuatu.
Namun, sifat hebat itu dikendalikan pula dalam pappaseng
berikut ini:
Narekko
moloiko roppo-roppo,
Rewekko
mappikkirik
Terjemahan:
Jika anda
berjalan dan menjumpai semak belukar,
Kembalilah berpikir.
Terdapat pula
sebuah elompugi (lagu) yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat Bugis,
sebagai berikut:
Resopa
temmanginngi
Namalomo
naletei
Pammase
dewata
Elong tersebut juga ditemukan dalam syair
elong yang agak berbeda, dalam tulisan Ambo Enre(1992:14) yang dikutip oleh
Said D.M.(1997), namun tidak mengubah makna syair tersebut.Kutipannya dapat
dilihat berikut ini:
Resopa
natinulu
Masero naletei
Pammase
Dewata
Maksudnya: Hanya bekerja yang tekun
Sering menjai titian
rahmat Ilahi
3. Nilai-nilai
yang Berkaitan dengan Kegotongroyongan
Ada pernyataan
menarik dari orang Belanda bahwa orang Bugis-Makassar tidak bolleh menjadi
tentara karena tidak disiplin, semuanya mau jadi komandan. Dan sifat ini
terlihat ketika berlayar tidak mau kalah dan harus selalu menjadi ponggawa
(Amir,dkk.1982:54). Namun, di balik watak yang keras itu, terdapat pula sikap
positif bahwa masyarakat Sulawesi Selatan, meskipun tradisional tetapi paling
dinamis danmemiliki solidaritas dan sifat kegotongroyongan. Hal ini terungkap
dalam pappaseng berikut ini:
Malik siparappeki
Rebba sipatokkokki
Siri menre, tessirik nok
(Amir, dkk.1982: 55)
Maksudnya:
Kalau kita hanyut bersama, hendaknya saling menyelamatkan,
Kalau kita tumbang bersama hendaknya saling mengangkat,
Kalau kita mujur berprestasi menanjak, pantang untuk
diturunkan.
Dengan
demikian,seandainya dalam masyarakat Sulawesi Selatan ber-kembang masyarakat
oposisi, yakni setiap orang yang akan naik ditarik kakinya ke bawah, berarti
suatu penyimpangan terhadap isi pappaseng tersebut.
4 . Nilai-nilai yang berkaitan dengan keteguhan hati
Dalam bahasa
Bugis, keteguhan dapat disebut getteng, yang dapat pula diartikan tegas,
tangguh, dan teguh pada keyakinan dan taat asas. Dalam kaitannya dengan
keteguhan ini, terdapat pappaseng Arung Bila, yang dikutip berikut ini:
”Tellu
riyala toddok:
Getteng,
Lempu,
Ada
tongeng
Terjemahan:
Ada tiga
hal yang dapat dijadikan patokan, yaitu:
Keteguhan,
Kejujuran
Ucapan benar
Selain itu,
ditemukan pula pappaseng yang senada:
‘Eppak-i
wawangenna paramata mattappa
Seuwwani,
lempu-é
Maduawanna, ada tongenng- é
Matellunna, siri- é sibawa getteng
Maeppakna, akkalenng-e sibawa nyamengkininnawa
Demikianlah artikel kali ini yang sempat Jendela-Seni
bagikan mengenai kearifan lokal pappaseng suku bugis,semoga dapat bermanfaat
bagi para pembaca sekalian,dan jangan lupa di share.
No comments:
Post a Comment