Tari Pajjoge Dan Sejarah Penciptaannya

Jendela Seni kaliini akan berbagi mengenai Tari Pajoge yang berasal dari suku bugis,Pajoge Angkong di Kabupaten Bone lahir pada abad ke-19, pada masa pemerintahan Raja Bone ke-32, yaitu La Mappanyukki Datu Lolo Ri Suppa. Pajoge Angkong lahir dari pemikiran para Calabai (Waria) selain Bissu pada masa itu, pemikiran untuk menciptakan tarian Pajoge Angkong mulanya disebabkan ketika mereka sering menyaksikan pertunjukan Sere Bissu, mereka berfikir bahwa Calabai (Waria) selain Bissu juga perlu menciptakan joge’ (tarian) yang gerakannya tetap berdasar pada gerakan sere bissu, akan tetapi mereka mengembangkan gerakan dari Sere Bissu, dikatakanlah gerakan mereka sebagai gerakan Mallebbang Sere yang berarti memperluas (mengembangkan) gerakan. Para waria kala itu mendapat respon positif dari kalangan Bissu untuk menciptakan tarian Pajoge Angkong, dan setelah mendapat izin dari para Bissu maka kesenian Pajoge Angkong mulai diperkenalkan dan kemudian dikembangkan (Wawancara Bissu Lolo, Tanggal 23 Januari 2013).
Pajoge Angkong mulanya di pertunjukkan dari kampung ke kampung, dan mendapatkan dukungan penuh oleh Petta Lantara sebagai Kepala TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di Kabupaten Bone kala itu, sehingga para pelaku Pajoge Angkong dijaga ketat oleh TKR (Tentara Keamanan Rakyat) setiap mengadakan pertunjukan pada zaman perang gerilia. (wawancara Dg. Macora, Tanggal 25 Januari 2013). 
 
Pajoge Angkong mengalami puncak kejayaan pada pertengahan abad ke-19, kala itu Raja Bone ke-32 Andi Mappanyukki mengundang dan meminta Pajoge Angkong untuk mengadakan pertunjukan pada acara Akikah putranya. Alasan raja memilih Pajoge Angkong karena hampir setiap malam beliau bermimpi melihat Pajoge Angkong, pada pertunjukan Pajoge Angkong yang pertama di Kota Watampone, kala itu seorang penari memakai memakai tujuh lapis Baju Bodo, angka tujuh yang dimaksudkan  bermakna Pitu Walli (tujuh wali), Pitu Llapi Langi (tujuh lapis langit), Pitu Lapi Tana (tujuh lapis tanah). Mulai saat itu Pajoge Angkong lebih dikenal dan mereka sudah bisa melakukan pertunjukan di Kota, Emma’ gendrang (pemusik sekaligus pemimpin kelompok Pajoge Angkong) serta para penari yang terkenal pada saat itu memakai nama daerah mereka masing-masing di belakang nama Calabai (Waria) mereka, diantaranya:
 
Emma’ gendrang (Pemain gendang sekaligus pemimpin rombongan)
1. Emma’ Paeru (pemain gendang atau Emma’ Gendrang Pertama di Pajoge’ Angkong)
2. Junnu’ Bolong 
 
Penari
1. Bulan Barebbo
2. Cora Bone
3. Bintang Bone
4. Cinta Watu
5. Lummu’ Watu
6. Cahaya Wedda
7. Bintang Labembe
8. Menni’ Welado
9. Cahaya Welado
10. Asia Welado
11. Janna Solo
12. Gatta Solo’
13. Sumiati Solo’
 
Pajoge Angkong terdiri dari dua kata, yaitu Pajoge dan Angkong. Pajoge berarti orang yang melakukan gerak atau penari sedangkan Angkong berarti Calabai atau Waria. Pemimpin rombongan Pajoge Angkong adalah Emma’ Gendrang dan Indo’ Gendrang, adapun perbedaan Emma’ Gendrang dan Indo’ Gendrang yaitu, Emma’ Gendrang adalah Pemimpin yang juga berfungsi sebagai pemain musik yang memang mengkoordinir semua penari-penari yang dibawanya dan memiliki rombongan atau anggota, sedangkan Indo’ Gendrang hanyalah pemain musik yang jalan sendiri, ketika seorang Indo’ Gendrang bertemu dengan beberapa penari maka disitulah dia menabuh gendangnya, jadi pada dasarnya Indo’ Gendrang tidak memiliki anggota tetap, Emma’ Gendrang dan Indo’ Gendrang dahulu adalah seorang penari juga dan berasal dari kaum Calabai (Waria), kesenian Pajoge Angkong dahulu merupakan pertunjukan tari yang tak jauh beda dengan tari pergaulan, seperti tari Ronggeng dan tari Jaipong yang ada di Pulau Jawa, penari Pajoge Angkong sebenarnya menari untuk merayu hati laki-laki (penonton) yang datang, jumlah penari juga tidak menentu akan tetapi biasa mencapai 40 orang, dan pertunjukan Pajoge Angkong ini disajikan semalam suntuk, saat seorang penari dipanggil oleh laki-laki (penonton) maka dialah yang mendapat saweran, dan bukan cuma mendapat saweran, setelah itu lelaki (penonton) yang memberi saweran berhak untuk membawa penari untuk pulang kerumahnya bahkan sampai bercinta dengan penari, tidak peduli kalau lelaki yang membawa penari ini sudah mempunyai anak dan istri, bahkan tidak sedikit pasangan suami istri yang bercerai karena tidak tahan melihat suami mereka bercinta dengan penari Pajoge Angkong. Akan tetapi, tidak sedikit juga istri yang bisa menerima perlakuan suaminya yang bercinta dengan penari (Wawancara Dg. Macora, 25 Januari 2013).
 
Pada zaman perang gerilia, Pajoge Angkong digunakan oleh TKR (Tentara Keamanan Rakyat) sebagai umpan bagi geriliawan pada saat itu, ketika semua warga sudah berbondong-bondong kepertunjukan Pajoge Angkong suasana menjadi sangat ramai, dan tidak sedikit dari para geriliawan yang ikut menonton, ketika para geriliawan berkumpul ditempat pertunjukan maka saat itulah Emma’ Gendrang sebagai pemimpin rombongan di beri kode oleh para Tentara untuk menghentikan permainan musiknya, setelah itu Tentara menyerang para geriliawan dengan tembakan, dan saat perang terjadi, para rombongan Pajoge Angkong langsung dibawa ketempat aman yang telah disediakan oleh para Tentara.
Setiap kelompok atau rombongan Pajoge Angkong terbagi atas empat, masing-masing dari mereka ada yang bertugas sebagai:
a. Emma’ Gendrang dan Indo’ Gendrang (pemain musik)
b. Pajoge  (Penari)
c. Pappocci’ (calon penari muda yang hanya berperan diawal pertunjukan tapi belum diperbolehkan menari karena Pappocci’        adalah penari pemula atau baru belajar, hanya sebagai perkenalan bagi para penonton)
d. Pa Lampu Strongkeng (orang yang mempunyai lampu atau penerang saat itu, karena aliran listrik kala itu belum ada)
 
Pembagian upah atau gaji diantara keempat bagian tersebut 100% berasal dari saweran penari, pembagian upah atau gaji mereka, adalah sebagai berikut:
- Emma’ Gendrang dan Indo’ Gendrang sebanyak 50 % 
- Pajoge’ sebanyak 25%
- Pappocci’ belum mendapat upah karena saat itu Pappocci’ belum dapat menari 
- Pa Lampu Strongkeng sebanyak 25%

Diantara keempat pembagian upah atau gaji dari masing-masing peranan mereka, upah atau gaji yang paling tinggi adalah upah Emma’ Gendrang atau Indo’ Gendrang karena Emma’ gendrang atau Indo’ Gendrang selain merupakan pimpinan atau ketua rombongan yang berperan penting dalam pertunjukan, Emma’ Gendrang atau Indo’ Gendrang juga dikenal oleh para penari sebagai orang yang memiliki ilmu gaib, mereka menyebutnya dengan istilah “eru-eru” ialah semacam ilmu gaib yang dipercaya bisa mengumpulkan atau menghipnotis penonton untuk berbondong-bondong menuju tempat pertunjukan dan kemudian menonton pertunjukan tersebut semalam suntuk, sebelum penari berada di tempat pertunjukan Emma’ Gendrang atau Indo’ Gendrang sudah lebih dulu ditempat pertunjukan dan menabuh gendangnya, saat itulah masyarakat setempat langsung datang ketempat tersebut, maka sebelum penari berada ditempat pertunjukan, tempat pertunjukan tersebut sudah dipenuhi oleh penonton, atas dasar itulah penari percaya bahwa Emma’ Gendrang atau Indo’ Gendranglah yang membuat para penonton terhipnotis (Wawancara Bulan, 25 Januari 2013).
 
Ada beberapa versi mengatakan bahwa kesenian Pajoge Makkunrai (Tarian Pajoge yang penarinya adalah  perempuan) lebih dulu lahir sebelum Pajoge Angkong, akan tetapi dua orang pelaku kesenian Pajoge Angkong pada masa itu yaitu Dg. Macora dan Dg. Bulan membantah dan menegaskan bahwa Pajoge Angkong lebih dulu ada sebelum Pajoge Makkunrai, mereka mengatakan bahwa Pajoge Angkonglah yang ditiru oleh Pajoge Makkunrai, Kemudian setelah itu kembali menegaskan bahwa Pajoge Makkunrai hanya bisa melakukan pertunjukan di lingkungan Saoraja (rumah Raja atau dikerajaan) karena pada saat itu perempuan di tanah bugis sangat Malebbi (terhormat), mereka (perempuan) tidak akan keluar rumah jika tidak ada keperluan yang mendesak (Wawancara Dg. Macora, 25 Januari 2013).
 
Penari Pajoge Angkong saat itu mempelajari gerakan Pajoge dengan cara autodidak, mereka hanya belajar saat menonton pertunjukan Pajoge Angkong. Akan tetapi seiring waktu berjalan, ketika itu Pajoge Angkong sudah mengadakan pertunjukan lintas kabupaten, setiap mendapat atau bertemu dengan Calabai (Waria) yang tidak memiliki pekerjaan di daerah yang mereka datangi, muncul suatu inisiatif dari para penari Pajoge Angkong untuk melatih para Calabai (Waria) selain Bissu sebagai wujud solidaritas mereka antar sesama Calabai (Waria), sejak saat itulah kesenian Pajoge Angkong menyebar di Kabupaten-Kabupaten selain di Kabupaten Bone, seperti di Kabupaten soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten pinrang, bahkan sampai di Kabupaten Buton (Wawancara Dg. Macora, 25 Januari 2013).
 
Kesenian Pajoge Angkong berangsur-angsur berkurang kemudian sampai vakum bahkan tidak lagi mengadakan pertunjukan setelah Kepala Kampong (Kepala Desa) dan Tentara pada saat sudah tidak mau lagi memberikan izin kepada para pelaku kesenian Pajoge Angkong untuk megadakan pertunjukan.

Demikianlah artikel kali ini yang membahas mengenai Tari Pajjoge Dan Sejarah Penciptaannya,semoga pembahasan diatas dapat bermanfaat,dan menambah referensi serta dapat menginspirasi para pembaca sekalian.akhir kata
Tari Pajjoge Dan Sejarah Penciptaannya Rating: 4.5 Diposkan Oleh:Khaerul USB info masuk

No comments:

Post a Comment