kisah masa lampau manusia Bissu dan perkembangannya
Menurut sejarah, Bissu merupakan penjaga warisan budaya Bugis kuno
yang masih ada sampai sekarang,namun banyak kalangan yang
menyatakan bahwa komunitas Bissu tersebut melanggar peraturan daerah
(Perda) syariat Islam karna dinilai musyrik, memuja dewa dan tidak
menikah (karena mereka adalah kalangan waria). Namun, jika kita kembali
merunut, dapat dinilai bahwa peranan Bissu itu sendiri sangat berperan
dalam pengembangan usaha pertanian dan berfungsi sebagai sandro (dukun)
di kampung-kampung di tanah Bugis.
Dalam
budaya Bugis masa zilam, bissu memiliki kedudukan yang sangat terhormat
dan disegani,karna merupakan penyambung lidah raja dengan rakyat. Bissu juga
merupakan perantara antara langit dengan bumi, hal ini dimungkinkan
karena kemampuannya yang menguasai bahasa torilangi (bahasa langit) yang
hanya bisa dimengerti oleh para bissu dan dewa.
Dalam
naskah sureq Lagaligo dikisahkan bahwa bissu pertama yang ada di bumi
bernama Lae-lae, yang diturunkan bersama Batara Guru. Dari sinilah
diyakini tradisi bissu berawal yaitu di daerah Luwu dan menyebar ke
berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Jadi asal muasal bissu di daerah
Segeri yaitu dari daerah Luwu.
Pada
masa keemasan kerajaan-kerajaan besar dan pemerintah kekaraengan di
Sulawesi Selatan, termasuk kekaraengan Segeri, tidak satupun upacara
adat dianggap lengkap tanpa kehadiran bissu. komunitas bissu merupakan
pelestari tradisi dan pemelihara benda-benda kebesaran kerajaan
(kalompoang/arajang) dan keagamaan pada masa itu.
Masa
suram bagi komunitas bissu adalah ketika perubahan sistem pemerintahan
dari kerajaan menjadi republik, dan diperparah lagi dengan masuknya
ajaran Islam pada abad ke XVII. Agama Islam menganggap bahwa kepercayaan
yang dianut oleh komunitas bissu adalah sebuah bentuk kemusrykan.
Upacar-upacar adat, seperti Mappalili dianggap sebagai bentuk pemujaan
yang tak boleh dilaksanakan.
Dari
aspek kaidah tidak, agama Islam tidak pernah memberikan toleransi untuk
mengadakan campur baur (pembauran) antara satu kepercayaan dengan
kepercayaan lainnya. Islam tidak pernah menyisakan ruang kosong untuk
mengisi ruang ketauhidan selain bertauhid kepada Allah SWT.
Aktivitas
dan pemikiran bissu tersebut, seperti adat Mappalili dengan pemikiran
bahwa panen hanya akan berhasil jika dilakukan mappalili, upacara adat
l;ainnya yang m emosisikan diri bissu sebagai perantar doa atau mantra
dengan orang yang sakit, punya nazar, hajatan,penyebutan Dewata Seuwae
sebagai pangganti nama Allah merupakan beberapa tindakan yang tidak
dapat ditolerir dalam agama Islam.
Komunitas bissu mengalami prahara yang memorak-porandakan seluruh pranata kebissuannya pada masa gerombolan Kahar Musakkar melancarkan operasi Toba , yaitu operasi penumpasan bissu. Ribuan perlengkapan upacara ritual bissu dibakar atau ditenggelamkanke laut. Tidak sedikit bissu yang dibunuh, yang dibiarkan hidup digunduli dan dipaksa menjadi lelaki tulen. Sisa-sisa dari operasi tersebut kemungkinan itulah bissu-bissu tua yang ada sekarang.
Di
tahun 1950-an saat pecah pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, Bissu
merupakan salah satu pihak yang paling menderita. Kahar Muzakkar
menganggap kegiatan para Bissu ini adalah menyembah berhala, tidak
sesuai dengan ajaran Islam dan membangkitkan feodalisme. Karena itu
kegiatan, alat-alat upacara, serta para pelakunya diberantas. Ratusan
perlengkapan upacara dibakar atau di tenggelamkan ke laut. Banyak sanro
(dukun) dan Bissu di bunuh atau dipaksa menjadi pria yang harus bekerja keras.
Penderitaan
para Sanro dan Bissu masih berlanjut ketika Orde Lama (Orla)
ditumbangkan oleh rejim Orde Baru (Orba) pada tahun 1965. Keributan yang
menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri.
Arajang hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa
ketika itu. Para Bissu dan mereka yang percaya akan kesaktian arajang
menjadi tertuduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia
(PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan siriq,
dianggap menganut ajaran anisme. Barang siapa masih menganggap arajang
sebagai benda kramat berarti menduakan Tuhan. Di antara mereka yang
tertangkap harus memilih antara mati di bunuh atau memilih masuk agama
Islam serta menjadi manusia normal (pria). Muncul doktrin dalam
masyarakat, bahwa bila melihat Bissu atau Wandu maka konon mereka yang
melihatnya akan sial tidak mendapatkan rejeki selama 40 hari – 40 malam.
Demikian pula seluruh amal baik yang diperbuatnya selama 40 hari
tersebut tidak diterima pahalanya oleh Tuhan YME. Karena itu, jika
melihat Bissu atau Wandu maka dia harus diusir jauh-jauh. Banyak di
antara sanro dan Bissu yang sebelumnya sangat dihormati oleh masyarakat,
kini menjadi sasaran lemparan dan olok-olokan bocah di jalanan.
Gerakan
pemurnian ajaran Islam tersebut mereka sebut “Operasi Toba” (Operasi
Taubat) yang gencar-gencarnya terjadi pada tahun 1966. Sejak itu,
upacara Mappalili mengalami kemunduran, upacara-upacara Bissu tidak lagi
diselenggarakan secara besar-besaran. Para Bissu bersembunyi dari
ancaman maut yang memburunya. Masyarakat tidak lagi peduli akan nasib
mereka, karena sebagian dari mereka memang mendukung gerakan “Operasi
Toba” tersebut. Sebagian masyarakat yang bersimpati kepada para Bissu,
hanya tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun ketika masyarakat
menuai padinya, ternyata hasilnya memang kurang memuaskan sehingga
beberapa masyarakat beranggapan hal tersebut terjadi karena tidak
melakukan upacara Mappalili . Dengan kesadaran itulah beberapa di antara
mereka menyembunyikan Bissu yang tersisa agar tidak di bunuh dan agar
upacara mappalili dapat dilaksanakan lagi. Bissu-bissu yang selamat
itulah yang masih ada sekarang ini. Kini jumlah mereka yang tersisa di
seluruh wilayah adat Sulawesi Selatan tidak lebih dari empatpuluh orang
saja. Padahal untuk melakukan sebuah upacara Mappalili yang besar,
jumlah Bissu minimal harus berjumlah empatpuluh orang (Bissu
PattappuloE) dalam sebuah wilayah adat.
Bissu
bisa eksis sampai sekarang ini karena fungsi sosial yang dimiliki oleh
bissu tersebut. Kalau dahulu, komunitas bissu ini dikejar-kejar pada
saat operasi Toba,kini masyarakat dan pemerintah kabupaten Pangkep
malahan memberi tempat dan ruang untuk hidup bagi komunitas bissu.
ataspersetujuan DPRD Pangkep komunitas bissu ini dibuatkan sebuah tempat
yaitu Bola Arajang.
Kini
komunitas yang makin berkurang ini berada dalam ambang antara ada dan
tiada. Dikatakan ada karena sesekali komunitasnya masih menghendaki dan
memandang perlu untuk mengedepakannya bagi kepentingan yang bertalian
dengan upacara. Dapat menjadi tiada ketika masyarakat yang semula
menopang keberadaannya kemudian meninggalkannya karena berbagai sebab.
Berbagai peristiwa yang berusaha melenyapkan eksistensi mereka telah dialami oleh komunitas Bissu
di Sulawesi Selatan. Mereka telah melewati jaman di mana mereka harus
diburu bahkan dibunuh untuk dilenyapkan. Saat itu, nyawa seekor anjing
lebih berharga dibanding nyawa mereka. Masyarakat Bugis sebagai pemilik
tradisi ini, kini sebagian besar bahkan menyudutkan komunitas Bissu
ini. Berbagai tekanan menjadikan mereka sebagai suatu komunitas yang
terasing, walau beberapa di antaranya masih dapat tegar bertahan dengan
berkompromi dengan perubahan. Komunitas Bissu bercerai berai,
jumlah dan kualitasnya semakin menyusut dari hari ke hari. Melihat pola
regenerasi dan dukungan mayoritas masyarakat Bugis masa kini, maka dapat
dipastikan bahwa Bissu-bissu yang tersisa sekarang adalah generasi terakhir pewaris tradisi Bugis klasik ini.
1 comment:
cek
Post a Comment